Jumat, 17 Desember 2010

Sistem Pendidikan Rusak...!!!!

Ini lingkarang setan!!! Permasalahan bangsa kita, ketika tuntutan untuk hidup layak tidak dipenuhi dengan alat yang dapat menciptakan kelayakan itu. Yaitu: PENDIDIKAN dan KETERAMPILAN. Sehingga setiap orang dapat mandiri dan berkarya. Sampai kapan pun bangsa ini akan terus tertinggal bila tidak ada niat baik pemerintah untuk menyediakan sarana pendidikan yang merata dan pelatihan keterampilan sebagai bagian dari kompetensi yang harus include dalam pendidikan kita! (Tak dikenal).



Bagaimana kondisi pendidikan kita saat ini? Banyak cercaan dan carut marut yang dilontarkan oleh berbagai pihak. Terjadinya beberapa kali perubahan sistem pendidikan, belum menunjukan kemajuan yang berarti. Berbagai kebijakan pendidikan yang sudah dilakukan pemerintah pun belum mampu menjawab permasalahan pendidikan kita. Padahal tantangan demi tantangan ke depan semakin besar dan penuh kompetitif.

Kebijakan pemerintah selama ini tidak pernah menjawab tantangan-tantangan pendidikan di negeri kita maupun tantangan pendidikan yang bersifat universal. Permasalahan-permasalahan mulai dari substansi pendidikan hingga ke praksis pendidikan tidak pernah secara tuntas diselesaikan. Wacana-wacana yang berkembangpun hanya berkisar pada dekonstruksi-dekonstruksi kebijakan yang pernah ada sebelumnya, tanpa ada solusi yang pasti. Dengan kata lain bahwa paradigma lama dianggap sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman. Diperlukan adanya paradigma baru. Kenyataannya, paradigma baru pun belum mampu untuk menemukan solusi terbaik. Oleh karena itu hasilnya belum menjadi seberkas sinar terang yang dapat memberikan pencerahan terhadap dunia pendidikan kita.
Keberhasilan pembangunan pendidikan akan berdampak luas terhadap pembangunan nasional.

Pendidikan identik dengan output SDM, dan SDM yang berkualitas hanya dapat terbentuk bilamana terdapat proses pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas ini selanjutnya hanya bertumpu pada lembaga pendidikan yang tidak hanya membekali kemampuan kognitif saja, akan tetapi juga pada kemampuan afektif dan psikomotorik. Untuk mencapai hak tersebut, hendaknya pelaksanaan pendidikan harus mampu menciptakan situasi dan hasil belajar yang menyeluruh, sehingga hasil belajar yang dimiliki oleh siswa dapat diterapkan dalam kehidupannya. Pembelajaran hendaknya mampu mengarahkan siswa terhadap realita, fakta, obyek, fenomena, serta problematika yang dihadapi dalam hidup keseharian (Isjoni, 2008:9). Setiap siswa selaku pembelajar aktif yang selalu berusaha menemukan regulitas pengertian-pengertian dan persamaan dari setiap realita, fakta, atau fenomena yang ditemui.

Oleh sebab itu, tujuan pokok pembelajaran adalah mendorong pembentukan sikap kemandirian siswa sebagai seorang pelajar, pemikir, dan pengambil keputusan. Dengan kata lain, sasaran utama proses pendidikan umumnya serta proses belajar mengajar khususnya, pada suatu jenjang sekolah bukan menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan sebanyak-banyaknya. Namun lulusan yang memiliki serangkaian keterampilan atau kemampuan serta berbagai sikap dan nilai penting, yang tidak hanya berguna untuk melanjutkan pendidikan, tetapi juga untuk hidup dan bekerja di masyarakat. Akhirnya pembentukan sikap anak didik ini dapat berjalan dengan baik apabila ada keseriusan kita dalam mengembangkan pendidikan bermakna.

Dalam dunia pendidikan muncul pertentangan antara idealitas tujuan dengan usaha pencapaian tujuan sehingga produk yang diperoleh menjadi menyimpang . demikian pula antara tujuan ideal dengan sistematisasi pengelolaan proses belajar mengajar sehingga mengesankan kekakuan dan ketertutupan yang bertentangan dengan semangat intelektual dan kesadaran kritis yang menjadi dasar eksistensi pendidikan. Sementara itu pihak pengelola pendidikan dan para guru, menempatkan diri sebagai orang yang lebih bermoral, sumber kebaikan dan kesuksesan hidup. Pada saat yang sama, telah lama kita memprihatinkan nasib guru yang gajinya pas-pasan dan masih harus menjadi “pelayan” yang terpaksa setia kepada elite penguasa, khususnya pejabat di Departemen Pendidikan Nasional. Bisa saja kita menyatakan bahwa kekerasan dunia pendidikan itu sebagai resiko dan harga sosial yang harus dibayar dari kekurangpedulian kita terhadap nasib guru.

Walaupun UU Guru dan Dosen sudah disahkan, namun setakat ini Peraturan Pemerintah yang menindaklanjuti UU tersebut tak kunjung terealisasi. Namun alasan ekonomi itu tidaklah tepat dan juga bukan sebuah kearifan jika dijadikan pembenar bagi pelanggaran HAM dan penindasan bagi anak-anak negeri ini. Tanpa revolusi pendidikan sebagai sebuah proses induksi dan dialog budaya antar generasi, pendidikan akan mudah menjadi praktik pemasungan dan penindasan kreativitas serta perlakuan kekerasan sistematis yang terlembaga. HAM yang dinilai lebih tradisional itu dipaksakan menjadi hak hukum, hak politik, dan hak-hak lain menurut versi impersonal sebagai indikasi modernitas. Seharusnya disadari bahwa HAM, selain bersifat universal sekaligus juga seharusnya bersifat unik sesuai hakikat jati diri manusia yang unik dan misterius (Isjoni, 2008:22).

Tanpa kesadaran akan HAM dalam artinya yang tradisional itu, tujuan berprestasi dalam dunia pendidikan kemudian dipicu dengan mengabaikan hak paling asasi setiap orang. Prestasi anak dalam dunia pendidikan selama ini lebih berarti sebagai prestasi lembaga sekolah yang menumbuhkan kebanggaan berlebihan pada lembaga. Muncul sentiment lembaga yang dibangun secara sistematis dari ruang-ruang kelas bahwa sekolahnyalah yang paling jawara dalam banyak bidang. Inilah sebenarnya yang menjadi akar bentrokan antar sekolah. Dan inilah sebenarnya yang menjadi akar dari segala kerusuhan antar kelompok di dalam masyarakat kita selama ini.

Pendidikan seharusnya tidak diletakkan dan dikelola sebagai paket pengembangan jiwa atau kepribadian hingga keterampilan, tetapi pemberian fasilitas bagi setiap manusia untuk bisa mengalami dan menyelesaikan sebanyak mungkin masalah. Dengan demikian, pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman sejarah secara akumulatif sehingga manusia bisa belajar dari sejarah masa lalu. Karena itulah, kecerdasan seharusnya diorientasikan bukan sekedar prestasi otak, tetapi juga sebagai kualitas spiritual dan religious serta pemihakan pada kemanusiaan tradisional.

Pendidikan merupakan persemaian ide dan pemikiran, suatu landasan yang digunakan untuk membangun bangsa. Jika pendidikan kehilangan ideologinya maka yang terjadi dalam masyarakat adalah disorientasi dalam membangun masyarakat, bangsa kehilangan jati diri, sedangkan para pemimpin hanya merasakan pragmatism dan oportunisme. Pendidikan seharusnya menjadi wahana manusia untuk belajar hidup menyelesaikan problem kehidupan yang dihadapi. Namun sayangnya, pendidikan lebih sebagai sebuah paket peniruan gaya hidup versi penguasa, birokrat pendidikan, dan para orang dewasa. Karena itulah pendidikan sering terperangkap sebagai praktik ke-kuno-an dan gaya hidup generasi terdahulu yang ketinggalan zaman. Bahkan pendidikan juga mudah terperangkap sebagai praktik sebuah “sistem” penindasan dan ketidakadilan.

Pendidikan yang terjebak pada kebutuhan teknis dan melayani industri biasanya akan terjebak pada upaya menjawab pertanyaan mendasar tantang fungsi dan hakikat pendidikan. Persoalan ideologi sebagai suatu landasan dasar bagi penyelenggaraan pendidikan tak lagi dipikirkan. Berhadapan dengan kapitalisme global, para elite pembuat kebijakan tampak berupaya memformat kebijakan yang kadang tak begitu jelas. Bukannya melihat adanya kontradiksi jika mengikuti alur dan logika berpikir kapitalistik, pendidikan justru berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan kapitalisme itu.Menurut Soyomukti (2008:25) tesis yang diajukan mengenai mundurnya kualitas pendidikan di Indonesia, dan sebenarnya juga di berbagai belahan dunia lainnya adalah karena diabaikannya upaya mencari pilihan ideologis bagi pelaksanaan pendidikan sehingga kebijakan pendidikan tidak lagi diselenggarakan berdasarkan asumsi-asumsi idealistik dan hanya memenuhi kebutuhan praktis yang sayangnya tak pernah dipikirkan akibat-akibat jangka panjangnya. Dalam kaitan itu, pendidikan telah terjebak pada pragmatism untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis akibat adanya perkembangan globalisasi, tetapi dalam pelaksanaannya pun tidak dilakukan secara terencana, komprehensif, dan hanya menunjukkan adanya perubahan kebijaksanaan yang berubah-ubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pasar (kapitalis).

Fakta bahwa pendidikan selalu dijadikan alat bagi indoktrinasi ideologi bukanlah suatu masalah, karena itu akan selalu terjadi dalam suatu sejarah. Persoalannya, bukan ada atau tidaknya ideologi, tetapi ideologi macam apa yang diajarkan dan apa manfaat suatu ideologi terhadap kehidupan manusia. Hidup itu penuh ide. Tetapi, apakah ide yang berkembang itu berkontradiksi pada upaya menciptakan harmonisasi realitas kehidupan ataukah ide itu mendukung kemajuan umat manusia atau perikehidupan suatu bangsa. Hal itulah yang perlu dijadikan sebagai pijakan bagi pendidikan kita (Soyomukti, 2008:29).

Pengetahuan (sebagai kumpulan ide-ide yang ada dalam pikiran manusia) telah mengubah cara pandang dan juga telah memandu manusia untuk meningkatkan kemampuan teknik. Pengetahuan dan teknologi adalah kekuatan konkret manusia yang membawanya pada kemajuan, dan kekuatan itu didapatkan dengan proses yang dinamakan pendidikan. Sekolah menjadi lembaga bagaimana pengetahuan dan wawasan teknis ditularkan. Ide dan pengetahuan benarlah yang akan memajukan masyarakat. Pendidikan sejati bertugas menularkan ide, pengetahuan, cara berfikir, wawasan dan kemampuan teknik pada anak-anak dan generasi muda. Sekolah yang palsu adalah tempat persemaian ide-ide palsu yang membuat anak-anak salah dalam memahami kehidupannya. Pendidikan yang bermanfaat adalah pendidikan yang menyebarkan ide-ide dan pengetahuan yang benar, serta wawasan dan kemampuan teknik yang berguna bagi generasi itu dan masyarakatnya (Soyomukti, 2008:30).

Jika kita mau menyadari arti pendidikan yang sesungguhnya bahwa pendidikan adalah proses memaknai kehidupan dan realitas sehingga manusia dapat bertahan hidup dari pengalaman-pengalaman hidup yang telah dialaminya. Kita harus memahami pentingnya kedekatan manusia dengan dunianya serta realitas dengan objektivitas dan totalitasnya. Dengan hidup secara total (keseluruhan) dengan realitas anak-anak didik akan mampu mempercepat pemahamannya akan berbagai persoalan yang ada di dunia. Semakin dekat dengan realitas, semakin objektif pandangannya terhadap suatu masalah yang berakar pada realitas sehingga kian dewasalah cara berpikirnya. Filosof Jerman, Gothe, dalam Soyomukti (2008:42) pernah berkata: “Manusia mengetahui dirinya sebanyak pengetahuannya tentang dunia; manusia mengetahui dunia hanya dalam dirinya sendiri dan dia menyadari dirinya sendiri dalam dunia ini. Setiap objek yang benar-benar baru dikenal membuka sebuah organ baru dalam diri kita.”

Menurut Comenius dalam Soyomukti (2008:8) menyatakan, pendidikan yang layak bagi anak didik tidaklah dengan mencekoki berbagai kata-kata, kalimat, dan ide0ide dalam kepala mereka yang diulurkan bersama beragam pengarang, tapi pendidik harus mampu membuka pemahaman mereka terhadap dunia luas sehingga aliran kehidupan bisa jadi mengalir dari pikiran mereka seperti halnya daun, bunga, dan buah yang tumbuh dari kuncup sebuah pohon. Begitu indahnya kata-kata ini yang mengajak peserta didik kita untuk bersikap kritis, rasional, dan tidak boleh terbelenggu oleh setiap ragam penindasan dan imperialism terhadap dunia pendidikan. Inilah yang dinamakan “Pendidikan Manusia”.

Pendidikan untuk menciptakan dan mempertahankan sosialisme, sebagai jalan pembebasan manusia, dengan demikian harus demokratis, menciptakan kondisi anak-anak didik yang benar-benar bebas, rasional, aktif, dan independen. Tidak adanya penghisapan dalam hubungan ekonomi diharapkan akan membuat kerja yang dilakukan bukan semata-mata untuk memenuhi suatu hal yang terpaksa atau hanya karena kebutuhan primer seperti makan. Manusia, yang membedakannya dengan binatang, adalah manusia yang bukan semata-mata memenuhi kebutuhan hewaniah. Manusia punya karakter solidaritas, estetis, yang hidup untuk memperjuangkan keindahan hubungan dan memproduksi sesuatu yang lebih dari memenuhi kebutuhan tubuhnya, karena manusia adalah keberadaan yang tertinggi disbanding binatang (Soyomukti, 2008:103).

Tujuan pendidikan adalah pemanusiaan manusia. Pendidikan adalah bagian dari sejarah masyarakat kita, yang, bahkan kita harapkan untuk membentuk masyarakat itu. Pendidikan harus diberikan secara missal karena dengan adanya massalisasi pendidikan, upaya menciptakan pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan yang meluas juga dimungkinkan. Hal ini sejalan apa yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa, “Ilmu tidak boleh menjadi kesenangan diri sendiri. Orang-orang yang memiliki nasib baik untuk terjun dalam pencarian ilmu pertama-tama harus menempatkan pengetahuannya demi kepentingan kemanusiaan” (Soyomukti, 2008:52). Jadi, pengetahuan dan teknologi juga harus disosialisasikan bersamaan dengan asset-aset produksi. Dalam masyarakat berkelas (feodalisme dan kapitalisme), hanya sedikit orang (kalangan kelas penguasa/penindas) yang berwawasan terampil, sehingga pos-pos ekonomi dan kekuasaan pun dipegang oleh mereka dan untuk mereka sendiri.

Comenius juga berprinsip bahwa pendidikan itu harus berlangsung sepanjang hayat (life long education), yang berarti setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan disepanjang kehidupannya, tanpa ada batasan, kunkungan, dan berbagai tetek bengek birokratisme pendidikan. Itu berarti, setiap anak bangsa harus mendapatkan pendidikan, baik itu formal, informal, maupun non formal; dan tidak boleh ada sekat bahwa karena seorang anak itu miskin, maka tidak boleh sekolah; dan bahwa karena anak itu cacat maka tidak berhak memperoleh pendidikan secara layak. Mereka semua berhak untuk mendapatkan pendidikan sepanjang hidupnya tanpa melihat latar belakang dan hambatan belajar yang dimilikinya.

Pendidikan yang seharusnya menjadi ajang pencarian kebenaran dan pemberian fasilitas bagi tumbuhnya kemanusiaan itu kemudian berubah menjadi ajang pergumulan elite penguasa dan politisi. Tanpa penyadaran intuisi kemanusiaan itu, pendidikan bisa berubah menjadi praktik sistematis dehumanisasi. Untuk mengatasi semua itu, kualitas pendidikan mesti ditingkatkan. Kualitas pendidikan berkenaan dengan bagaimana meningkatkan kualitas SDM agar bangsa dapat mempertahankan eksistensinya. Dalam masalah ini ter-cakup pula masalah ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang lebih maju. Masalah kualitas pendidikan menyangkut banyak hal, antara lain kualitas calon anak didik, guru, dan tenaga kependidikan lainnya, serta prasarana dan sarana pendidikan.

Di tingkat operasional, masalah kualitatif pendidikan demikian berkenaan dengan masalah kualitas mengajar guru dan kualitas belajar siswa. Kedua-duanya, baik kualitas mengajar guru maupun belaja siswa, haruslah sama-sama ditingkatkan secara serempak agar didapatkan kualitas lulusan sebagaimana yang dikehendaki. Persoalan yang berkaitan dengan kualitas pendidikan ini adalah kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama di sekolah-sekolah lanjutan umum yang memiliki kecakapan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Metode mengajar yang konvensional dan cara evaluasi yang lazim terkonsentrasi pada aspek pengetahuan dan ingatan dan sekedar mempersiapkan ujian menjadikan penyebab belajar siswa sekadar ditujukan untuk ujian belaka.

Pendidikan sering dijadikan sebuah sistem yang berkonsentrasi untuk memproduksi pola perilaku dan kepribadian yang telah dirancang penguasa dan birokrat pendidikan tanpa member peluang manusia tumbuh sesuai keunikan dirinya sendiri. Dalam model pendidikan seperti ini, kebudayaan makin dikembangkan menjadi sebuah uniformitas. Kebudayaan yang demikian secara niscaya akan sangat rapuh dan mudah hancur hanya oleh sebuah penyebab. Akibatnya, krisis kebangsaan yang hingga kini sudah berlangsung hamper sepuluh tahun belum juga memperoleh titik terang penyelesaian, bahkan Nampak semakin ruwet.

Dalam hubungan itulah pendidikan perlu disentuh reformasi melalui peletakan pendidikan sebagai proyek besar bangsa ini untuk merubah kebudayaan. Pendidikan bukan sekedar hanya membuat orang cerdas dan terampil, tetapi juga memiliki kesadaran makrifat dan kewasktha-an. Prinsip ke-takwa-an di dalam dunia pendidikan selama ini selain abstrak, juga hanya dikaitkan dengan kurikulum pendidikan agama dan (dulu) pendidikan Pancasila atau PMP. Sayangnya, pendidikan agama dan PMP harus dinyatakan gagal meredam nafsu amarah yang melatarbelakangi berbagai kerusuhan berdarah seperti dikawasan Ambon, Sambas, Aceh dan beberapa daerah lain. Pendidikan agama dan PMP juga gagal meredam kerakusan elite politik dan pelaku ekonomi negeri ini sehingga melahirkan tradisi KKN (Isjoni, 2008:30). Prinsip takwa perlu dirumuskan secara konseptual yang berkaitan dengan kemakrifat-an dan kewaskita-an tersebut.

Karena itu penting bagi Departemen Pendidikan Nasional untuk segera meletakkan dasar kebijakannya di dalam melakukan perubahan kebudayaan sehingga dunia pendidikan lebih tercerahkan. Memang, kebijakan dasar itu tidak segera memperlihatkan hasil konkret yang langsung berkaitan dengan penyelesaian banyak krisis bangsa ini. Namun, tanpa perubahan pendidikan, ketika semua masalah mungkin telah diatasi, bangsa ini akan mudah terperangkap kembali ke dalam krisis multidimensi hanya oleh penyebab-penyebab ekonomi dan politik seperti yang kini kita alami. Kebijakan dasar pendidikan nasional itu akan menjadi penting satu dasawarsa ke depan, ketika bangsa ini benar-benar berada di tengah pusaran peradaban global.

Tanpa peletakan dasar kebijakan yang lebih makrifat dan waskiha, pendidikan nasional akan gagal member pelayanan kebutuhan pendidikan bagi masyarakat public. Pendidikan nasional bahkan akan terperangkap kembali memproduksi sebuah format kebudayaan yang bisa bertentangan dengan doktrin nasionalisme baru dan HAM itu sendiri, seperti selama Orde Baru. Ide-ide pendidikan pembebasan yang menjadi wacana luas di kalangan akademisi pendidikan bersama teologi pembebasan di kalangan aktivis LSM dan anak-anak muda kampus merupakan tanda-tanda munculnya persoalan serius yang akan dihadapi dunia pendidikan nasional kita.

Selain itu, dunia pendidikan nasional juga akan menghadapi masalah meluasnya tuntutan keadilan dalam pendidikan bagi semua kelas social, terutama bagi lapisan masyarakat bawah. Adalah penting bagi Mentri Pendidikan Nasional untuk menjernihkan kembali “etika pendidikan nasional” yang bebas dan penempatan pendidikan nasional sekedar sebagai alat pelestaria penguasa (Isjoni, 2008:32). Selama ini pendidikan nasional lebih menitikberatkan sebagai alat indoktrinasi politik dengan dalih nasionalisme menurut versi elite penguasa (borjuis). Karena itu, pendidikan nasional perlu melakukan pemihakan, bukan saja pada penegakan HAM dan demokratisasi, tetapi juga pemihakan kepentingan public, khususnya kepentingan warga Negara Indonesia yang mayoritasnya adalah masyarakat miskin, juga kepada kaum buruh dan petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sistem Pendidikan Rusak...!!!!

Ini lingkarang setan!!! Permasalahan bangsa kita, ketika tuntutan untuk hidup layak tidak dipenuhi dengan alat yang dapat menciptakan kelayakan itu. Yaitu: PENDIDIKAN dan KETERAMPILAN. Sehingga setiap orang dapat mandiri dan berkarya. Sampai kapan pun bangsa ini akan terus tertinggal bila tidak ada niat baik pemerintah untuk menyediakan sarana pendidikan yang merata dan pelatihan keterampilan sebagai bagian dari kompetensi yang harus include dalam pendidikan kita! (Tak dikenal).



Bagaimana kondisi pendidikan kita saat ini? Banyak cercaan dan carut marut yang dilontarkan oleh berbagai pihak. Terjadinya beberapa kali perubahan sistem pendidikan, belum menunjukan kemajuan yang berarti. Berbagai kebijakan pendidikan yang sudah dilakukan pemerintah pun belum mampu menjawab permasalahan pendidikan kita. Padahal tantangan demi tantangan ke depan semakin besar dan penuh kompetitif.

Kebijakan pemerintah selama ini tidak pernah menjawab tantangan-tantangan pendidikan di negeri kita maupun tantangan pendidikan yang bersifat universal. Permasalahan-permasalahan mulai dari substansi pendidikan hingga ke praksis pendidikan tidak pernah secara tuntas diselesaikan. Wacana-wacana yang berkembangpun hanya berkisar pada dekonstruksi-dekonstruksi kebijakan yang pernah ada sebelumnya, tanpa ada solusi yang pasti. Dengan kata lain bahwa paradigma lama dianggap sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman. Diperlukan adanya paradigma baru. Kenyataannya, paradigma baru pun belum mampu untuk menemukan solusi terbaik. Oleh karena itu hasilnya belum menjadi seberkas sinar terang yang dapat memberikan pencerahan terhadap dunia pendidikan kita.
Keberhasilan pembangunan pendidikan akan berdampak luas terhadap pembangunan nasional.

Pendidikan identik dengan output SDM, dan SDM yang berkualitas hanya dapat terbentuk bilamana terdapat proses pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas ini selanjutnya hanya bertumpu pada lembaga pendidikan yang tidak hanya membekali kemampuan kognitif saja, akan tetapi juga pada kemampuan afektif dan psikomotorik. Untuk mencapai hak tersebut, hendaknya pelaksanaan pendidikan harus mampu menciptakan situasi dan hasil belajar yang menyeluruh, sehingga hasil belajar yang dimiliki oleh siswa dapat diterapkan dalam kehidupannya. Pembelajaran hendaknya mampu mengarahkan siswa terhadap realita, fakta, obyek, fenomena, serta problematika yang dihadapi dalam hidup keseharian (Isjoni, 2008:9). Setiap siswa selaku pembelajar aktif yang selalu berusaha menemukan regulitas pengertian-pengertian dan persamaan dari setiap realita, fakta, atau fenomena yang ditemui.

Oleh sebab itu, tujuan pokok pembelajaran adalah mendorong pembentukan sikap kemandirian siswa sebagai seorang pelajar, pemikir, dan pengambil keputusan. Dengan kata lain, sasaran utama proses pendidikan umumnya serta proses belajar mengajar khususnya, pada suatu jenjang sekolah bukan menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan sebanyak-banyaknya. Namun lulusan yang memiliki serangkaian keterampilan atau kemampuan serta berbagai sikap dan nilai penting, yang tidak hanya berguna untuk melanjutkan pendidikan, tetapi juga untuk hidup dan bekerja di masyarakat. Akhirnya pembentukan sikap anak didik ini dapat berjalan dengan baik apabila ada keseriusan kita dalam mengembangkan pendidikan bermakna.

Dalam dunia pendidikan muncul pertentangan antara idealitas tujuan dengan usaha pencapaian tujuan sehingga produk yang diperoleh menjadi menyimpang . demikian pula antara tujuan ideal dengan sistematisasi pengelolaan proses belajar mengajar sehingga mengesankan kekakuan dan ketertutupan yang bertentangan dengan semangat intelektual dan kesadaran kritis yang menjadi dasar eksistensi pendidikan. Sementara itu pihak pengelola pendidikan dan para guru, menempatkan diri sebagai orang yang lebih bermoral, sumber kebaikan dan kesuksesan hidup. Pada saat yang sama, telah lama kita memprihatinkan nasib guru yang gajinya pas-pasan dan masih harus menjadi “pelayan” yang terpaksa setia kepada elite penguasa, khususnya pejabat di Departemen Pendidikan Nasional. Bisa saja kita menyatakan bahwa kekerasan dunia pendidikan itu sebagai resiko dan harga sosial yang harus dibayar dari kekurangpedulian kita terhadap nasib guru.

Walaupun UU Guru dan Dosen sudah disahkan, namun setakat ini Peraturan Pemerintah yang menindaklanjuti UU tersebut tak kunjung terealisasi. Namun alasan ekonomi itu tidaklah tepat dan juga bukan sebuah kearifan jika dijadikan pembenar bagi pelanggaran HAM dan penindasan bagi anak-anak negeri ini. Tanpa revolusi pendidikan sebagai sebuah proses induksi dan dialog budaya antar generasi, pendidikan akan mudah menjadi praktik pemasungan dan penindasan kreativitas serta perlakuan kekerasan sistematis yang terlembaga. HAM yang dinilai lebih tradisional itu dipaksakan menjadi hak hukum, hak politik, dan hak-hak lain menurut versi impersonal sebagai indikasi modernitas. Seharusnya disadari bahwa HAM, selain bersifat universal sekaligus juga seharusnya bersifat unik sesuai hakikat jati diri manusia yang unik dan misterius (Isjoni, 2008:22).

Tanpa kesadaran akan HAM dalam artinya yang tradisional itu, tujuan berprestasi dalam dunia pendidikan kemudian dipicu dengan mengabaikan hak paling asasi setiap orang. Prestasi anak dalam dunia pendidikan selama ini lebih berarti sebagai prestasi lembaga sekolah yang menumbuhkan kebanggaan berlebihan pada lembaga. Muncul sentiment lembaga yang dibangun secara sistematis dari ruang-ruang kelas bahwa sekolahnyalah yang paling jawara dalam banyak bidang. Inilah sebenarnya yang menjadi akar bentrokan antar sekolah. Dan inilah sebenarnya yang menjadi akar dari segala kerusuhan antar kelompok di dalam masyarakat kita selama ini.

Pendidikan seharusnya tidak diletakkan dan dikelola sebagai paket pengembangan jiwa atau kepribadian hingga keterampilan, tetapi pemberian fasilitas bagi setiap manusia untuk bisa mengalami dan menyelesaikan sebanyak mungkin masalah. Dengan demikian, pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman sejarah secara akumulatif sehingga manusia bisa belajar dari sejarah masa lalu. Karena itulah, kecerdasan seharusnya diorientasikan bukan sekedar prestasi otak, tetapi juga sebagai kualitas spiritual dan religious serta pemihakan pada kemanusiaan tradisional.

Pendidikan merupakan persemaian ide dan pemikiran, suatu landasan yang digunakan untuk membangun bangsa. Jika pendidikan kehilangan ideologinya maka yang terjadi dalam masyarakat adalah disorientasi dalam membangun masyarakat, bangsa kehilangan jati diri, sedangkan para pemimpin hanya merasakan pragmatism dan oportunisme. Pendidikan seharusnya menjadi wahana manusia untuk belajar hidup menyelesaikan problem kehidupan yang dihadapi. Namun sayangnya, pendidikan lebih sebagai sebuah paket peniruan gaya hidup versi penguasa, birokrat pendidikan, dan para orang dewasa. Karena itulah pendidikan sering terperangkap sebagai praktik ke-kuno-an dan gaya hidup generasi terdahulu yang ketinggalan zaman. Bahkan pendidikan juga mudah terperangkap sebagai praktik sebuah “sistem” penindasan dan ketidakadilan.

Pendidikan yang terjebak pada kebutuhan teknis dan melayani industri biasanya akan terjebak pada upaya menjawab pertanyaan mendasar tantang fungsi dan hakikat pendidikan. Persoalan ideologi sebagai suatu landasan dasar bagi penyelenggaraan pendidikan tak lagi dipikirkan. Berhadapan dengan kapitalisme global, para elite pembuat kebijakan tampak berupaya memformat kebijakan yang kadang tak begitu jelas. Bukannya melihat adanya kontradiksi jika mengikuti alur dan logika berpikir kapitalistik, pendidikan justru berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan kapitalisme itu.Menurut Soyomukti (2008:25) tesis yang diajukan mengenai mundurnya kualitas pendidikan di Indonesia, dan sebenarnya juga di berbagai belahan dunia lainnya adalah karena diabaikannya upaya mencari pilihan ideologis bagi pelaksanaan pendidikan sehingga kebijakan pendidikan tidak lagi diselenggarakan berdasarkan asumsi-asumsi idealistik dan hanya memenuhi kebutuhan praktis yang sayangnya tak pernah dipikirkan akibat-akibat jangka panjangnya. Dalam kaitan itu, pendidikan telah terjebak pada pragmatism untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis akibat adanya perkembangan globalisasi, tetapi dalam pelaksanaannya pun tidak dilakukan secara terencana, komprehensif, dan hanya menunjukkan adanya perubahan kebijaksanaan yang berubah-ubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pasar (kapitalis).

Fakta bahwa pendidikan selalu dijadikan alat bagi indoktrinasi ideologi bukanlah suatu masalah, karena itu akan selalu terjadi dalam suatu sejarah. Persoalannya, bukan ada atau tidaknya ideologi, tetapi ideologi macam apa yang diajarkan dan apa manfaat suatu ideologi terhadap kehidupan manusia. Hidup itu penuh ide. Tetapi, apakah ide yang berkembang itu berkontradiksi pada upaya menciptakan harmonisasi realitas kehidupan ataukah ide itu mendukung kemajuan umat manusia atau perikehidupan suatu bangsa. Hal itulah yang perlu dijadikan sebagai pijakan bagi pendidikan kita (Soyomukti, 2008:29).

Pengetahuan (sebagai kumpulan ide-ide yang ada dalam pikiran manusia) telah mengubah cara pandang dan juga telah memandu manusia untuk meningkatkan kemampuan teknik. Pengetahuan dan teknologi adalah kekuatan konkret manusia yang membawanya pada kemajuan, dan kekuatan itu didapatkan dengan proses yang dinamakan pendidikan. Sekolah menjadi lembaga bagaimana pengetahuan dan wawasan teknis ditularkan. Ide dan pengetahuan benarlah yang akan memajukan masyarakat. Pendidikan sejati bertugas menularkan ide, pengetahuan, cara berfikir, wawasan dan kemampuan teknik pada anak-anak dan generasi muda. Sekolah yang palsu adalah tempat persemaian ide-ide palsu yang membuat anak-anak salah dalam memahami kehidupannya. Pendidikan yang bermanfaat adalah pendidikan yang menyebarkan ide-ide dan pengetahuan yang benar, serta wawasan dan kemampuan teknik yang berguna bagi generasi itu dan masyarakatnya (Soyomukti, 2008:30).

Jika kita mau menyadari arti pendidikan yang sesungguhnya bahwa pendidikan adalah proses memaknai kehidupan dan realitas sehingga manusia dapat bertahan hidup dari pengalaman-pengalaman hidup yang telah dialaminya. Kita harus memahami pentingnya kedekatan manusia dengan dunianya serta realitas dengan objektivitas dan totalitasnya. Dengan hidup secara total (keseluruhan) dengan realitas anak-anak didik akan mampu mempercepat pemahamannya akan berbagai persoalan yang ada di dunia. Semakin dekat dengan realitas, semakin objektif pandangannya terhadap suatu masalah yang berakar pada realitas sehingga kian dewasalah cara berpikirnya. Filosof Jerman, Gothe, dalam Soyomukti (2008:42) pernah berkata: “Manusia mengetahui dirinya sebanyak pengetahuannya tentang dunia; manusia mengetahui dunia hanya dalam dirinya sendiri dan dia menyadari dirinya sendiri dalam dunia ini. Setiap objek yang benar-benar baru dikenal membuka sebuah organ baru dalam diri kita.”

Menurut Comenius dalam Soyomukti (2008:8) menyatakan, pendidikan yang layak bagi anak didik tidaklah dengan mencekoki berbagai kata-kata, kalimat, dan ide0ide dalam kepala mereka yang diulurkan bersama beragam pengarang, tapi pendidik harus mampu membuka pemahaman mereka terhadap dunia luas sehingga aliran kehidupan bisa jadi mengalir dari pikiran mereka seperti halnya daun, bunga, dan buah yang tumbuh dari kuncup sebuah pohon. Begitu indahnya kata-kata ini yang mengajak peserta didik kita untuk bersikap kritis, rasional, dan tidak boleh terbelenggu oleh setiap ragam penindasan dan imperialism terhadap dunia pendidikan. Inilah yang dinamakan “Pendidikan Manusia”.

Pendidikan untuk menciptakan dan mempertahankan sosialisme, sebagai jalan pembebasan manusia, dengan demikian harus demokratis, menciptakan kondisi anak-anak didik yang benar-benar bebas, rasional, aktif, dan independen. Tidak adanya penghisapan dalam hubungan ekonomi diharapkan akan membuat kerja yang dilakukan bukan semata-mata untuk memenuhi suatu hal yang terpaksa atau hanya karena kebutuhan primer seperti makan. Manusia, yang membedakannya dengan binatang, adalah manusia yang bukan semata-mata memenuhi kebutuhan hewaniah. Manusia punya karakter solidaritas, estetis, yang hidup untuk memperjuangkan keindahan hubungan dan memproduksi sesuatu yang lebih dari memenuhi kebutuhan tubuhnya, karena manusia adalah keberadaan yang tertinggi disbanding binatang (Soyomukti, 2008:103).

Tujuan pendidikan adalah pemanusiaan manusia. Pendidikan adalah bagian dari sejarah masyarakat kita, yang, bahkan kita harapkan untuk membentuk masyarakat itu. Pendidikan harus diberikan secara missal karena dengan adanya massalisasi pendidikan, upaya menciptakan pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan yang meluas juga dimungkinkan. Hal ini sejalan apa yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa, “Ilmu tidak boleh menjadi kesenangan diri sendiri. Orang-orang yang memiliki nasib baik untuk terjun dalam pencarian ilmu pertama-tama harus menempatkan pengetahuannya demi kepentingan kemanusiaan” (Soyomukti, 2008:52). Jadi, pengetahuan dan teknologi juga harus disosialisasikan bersamaan dengan asset-aset produksi. Dalam masyarakat berkelas (feodalisme dan kapitalisme), hanya sedikit orang (kalangan kelas penguasa/penindas) yang berwawasan terampil, sehingga pos-pos ekonomi dan kekuasaan pun dipegang oleh mereka dan untuk mereka sendiri.

Comenius juga berprinsip bahwa pendidikan itu harus berlangsung sepanjang hayat (life long education), yang berarti setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan disepanjang kehidupannya, tanpa ada batasan, kunkungan, dan berbagai tetek bengek birokratisme pendidikan. Itu berarti, setiap anak bangsa harus mendapatkan pendidikan, baik itu formal, informal, maupun non formal; dan tidak boleh ada sekat bahwa karena seorang anak itu miskin, maka tidak boleh sekolah; dan bahwa karena anak itu cacat maka tidak berhak memperoleh pendidikan secara layak. Mereka semua berhak untuk mendapatkan pendidikan sepanjang hidupnya tanpa melihat latar belakang dan hambatan belajar yang dimilikinya.

Pendidikan yang seharusnya menjadi ajang pencarian kebenaran dan pemberian fasilitas bagi tumbuhnya kemanusiaan itu kemudian berubah menjadi ajang pergumulan elite penguasa dan politisi. Tanpa penyadaran intuisi kemanusiaan itu, pendidikan bisa berubah menjadi praktik sistematis dehumanisasi. Untuk mengatasi semua itu, kualitas pendidikan mesti ditingkatkan. Kualitas pendidikan berkenaan dengan bagaimana meningkatkan kualitas SDM agar bangsa dapat mempertahankan eksistensinya. Dalam masalah ini ter-cakup pula masalah ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang lebih maju. Masalah kualitas pendidikan menyangkut banyak hal, antara lain kualitas calon anak didik, guru, dan tenaga kependidikan lainnya, serta prasarana dan sarana pendidikan.

Di tingkat operasional, masalah kualitatif pendidikan demikian berkenaan dengan masalah kualitas mengajar guru dan kualitas belajar siswa. Kedua-duanya, baik kualitas mengajar guru maupun belaja siswa, haruslah sama-sama ditingkatkan secara serempak agar didapatkan kualitas lulusan sebagaimana yang dikehendaki. Persoalan yang berkaitan dengan kualitas pendidikan ini adalah kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama di sekolah-sekolah lanjutan umum yang memiliki kecakapan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Metode mengajar yang konvensional dan cara evaluasi yang lazim terkonsentrasi pada aspek pengetahuan dan ingatan dan sekedar mempersiapkan ujian menjadikan penyebab belajar siswa sekadar ditujukan untuk ujian belaka.

Pendidikan sering dijadikan sebuah sistem yang berkonsentrasi untuk memproduksi pola perilaku dan kepribadian yang telah dirancang penguasa dan birokrat pendidikan tanpa member peluang manusia tumbuh sesuai keunikan dirinya sendiri. Dalam model pendidikan seperti ini, kebudayaan makin dikembangkan menjadi sebuah uniformitas. Kebudayaan yang demikian secara niscaya akan sangat rapuh dan mudah hancur hanya oleh sebuah penyebab. Akibatnya, krisis kebangsaan yang hingga kini sudah berlangsung hamper sepuluh tahun belum juga memperoleh titik terang penyelesaian, bahkan Nampak semakin ruwet.

Dalam hubungan itulah pendidikan perlu disentuh reformasi melalui peletakan pendidikan sebagai proyek besar bangsa ini untuk merubah kebudayaan. Pendidikan bukan sekedar hanya membuat orang cerdas dan terampil, tetapi juga memiliki kesadaran makrifat dan kewasktha-an. Prinsip ke-takwa-an di dalam dunia pendidikan selama ini selain abstrak, juga hanya dikaitkan dengan kurikulum pendidikan agama dan (dulu) pendidikan Pancasila atau PMP. Sayangnya, pendidikan agama dan PMP harus dinyatakan gagal meredam nafsu amarah yang melatarbelakangi berbagai kerusuhan berdarah seperti dikawasan Ambon, Sambas, Aceh dan beberapa daerah lain. Pendidikan agama dan PMP juga gagal meredam kerakusan elite politik dan pelaku ekonomi negeri ini sehingga melahirkan tradisi KKN (Isjoni, 2008:30). Prinsip takwa perlu dirumuskan secara konseptual yang berkaitan dengan kemakrifat-an dan kewaskita-an tersebut.

Karena itu penting bagi Departemen Pendidikan Nasional untuk segera meletakkan dasar kebijakannya di dalam melakukan perubahan kebudayaan sehingga dunia pendidikan lebih tercerahkan. Memang, kebijakan dasar itu tidak segera memperlihatkan hasil konkret yang langsung berkaitan dengan penyelesaian banyak krisis bangsa ini. Namun, tanpa perubahan pendidikan, ketika semua masalah mungkin telah diatasi, bangsa ini akan mudah terperangkap kembali ke dalam krisis multidimensi hanya oleh penyebab-penyebab ekonomi dan politik seperti yang kini kita alami. Kebijakan dasar pendidikan nasional itu akan menjadi penting satu dasawarsa ke depan, ketika bangsa ini benar-benar berada di tengah pusaran peradaban global.

Tanpa peletakan dasar kebijakan yang lebih makrifat dan waskiha, pendidikan nasional akan gagal member pelayanan kebutuhan pendidikan bagi masyarakat public. Pendidikan nasional bahkan akan terperangkap kembali memproduksi sebuah format kebudayaan yang bisa bertentangan dengan doktrin nasionalisme baru dan HAM itu sendiri, seperti selama Orde Baru. Ide-ide pendidikan pembebasan yang menjadi wacana luas di kalangan akademisi pendidikan bersama teologi pembebasan di kalangan aktivis LSM dan anak-anak muda kampus merupakan tanda-tanda munculnya persoalan serius yang akan dihadapi dunia pendidikan nasional kita.

Selain itu, dunia pendidikan nasional juga akan menghadapi masalah meluasnya tuntutan keadilan dalam pendidikan bagi semua kelas social, terutama bagi lapisan masyarakat bawah. Adalah penting bagi Mentri Pendidikan Nasional untuk menjernihkan kembali “etika pendidikan nasional” yang bebas dan penempatan pendidikan nasional sekedar sebagai alat pelestaria penguasa (Isjoni, 2008:32). Selama ini pendidikan nasional lebih menitikberatkan sebagai alat indoktrinasi politik dengan dalih nasionalisme menurut versi elite penguasa (borjuis). Karena itu, pendidikan nasional perlu melakukan pemihakan, bukan saja pada penegakan HAM dan demokratisasi, tetapi juga pemihakan kepentingan public, khususnya kepentingan warga Negara Indonesia yang mayoritasnya adalah masyarakat miskin, juga kepada kaum buruh dan petani.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011 Eibece | High CTR Blogspot Themes designed by Ali Munandar | Powered by Blogger.Com.