Selasa, 14 Desember 2010

Dakwah Budaya Sebuah Proyeksi Pembangunan Karakter Ahlussunnah Wal Jama’ah

Terdapat beberapa hal mendasar yang patut dipertanyakan sebelum kita berwacana tentang bagaimana menumbuhkan kembali karakter ahlussunnah wal jama’ah dikalangan kader-kadernya –termasuk mahasiswa-.

Pertama adalah apakah selama ini kader-kader sunni –termasuk mahasiswa- sudah berkarakter? Minimal karakter kader atau karakter mahasiswa?
Kedua adalah sejauh mana kader-kader sunni –termasuk mahasiswa- itu memiliki suatu refleksi intelektual dalam memahami serta menginternalisasi doktrin aswaja itu sendiri, sehingga tidak terjadi distorsi konsep maupun kerancuan dialektis.
Ketiga adalah sejauh mana para kader sunni –termasuk mahasiswa- sanggup melestarikan nilai-nilai cultural dan tradisi-tradisi amaliyah yang merupakan ruh dari aswaja itu sendiri.


Mahasiswa berkarakter
Dulu, setiap event orientasi studi dan pengenalan kampus selalu terdapat semacam guyon yang menyebutkan bahwa Tuhan itu maha segala-galanya, akan tetapi sangking mahaNya, Tuhan menghadiahkan salah satu mahaNya untuk makhlukNya yang dititipi amanah sebagai kholifah tetapi khusus yang mendapat title intelektual yaitu mahasiswa.

Akan tetapi harus diingat bahwa suatu keistimwaan sudah barang tentu diberikan kepada makhluk yang juga istimewa, sangat beralasan ketika Tuhan menghadiahkan salah satu mahaNya kepada kaum intelektual yang disebut mahasiswa, karena tanggung jawab intelektual bukanlah hal yang remeh, intelektual sangat erat kaitannya dengan devootee of ideas and values (penggemar ide-ide dan nilai-nilai) dan juga meleburkan diri kedalam budaya ilmiyah.

Sehingga mahasiswa yang berkarakter mahasiswa adalah mereka yang gandrung melakukan senggama intelektual, selalu siap menjadi pelopor dan pembangun peradaban, yang Islamnya bukan hanya teriak “Allahu Akbar“ sebagai muqaddimah serangan yang dengan symbol dan atribut yang dipakai justru mempertontonkan nilai agama yang menakutkan, mahasiswa yang mampu bergerak melakukan perubahan dari yang jumud menjadi cerah, dari eksklusif menjadi inklusif, dan dari keterkekangan menjadi pembebasan dan demokrasi, bukan hanya bashthotan fil ilmi wal jism akan tetapi juga memiliki Qalbun salim. Sehingga kesimpulannya bahwa karakter mahasiswa sebagaimana tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang menunjang karakter berikutnya yaitu karakter ahlussunnah waljama’ah.

Dakwah Budaya Merupakan Proyeksi Pengembangan Karakter Ahlussunnah Wal Jama’ah
Ahlussunnah wal jama’ah yang selama ini kita pahami sebagai manhaj fikr mungkin secara epistimologis telah selesai tergarap, akan tetapi dalam konteks aksiologisnya masih terkesan setengah-setengah (untuk tidak menyebut sama sekali nggak berlaku), hal ini diindikasikan dengan banyaknya kader –yang mengaku- sunni belum legowo membuka eksklusifitas yang selama ini mengungkung alam fakir dan dzikir mereka, mereka –termasuk mahasiswa- masih banyak yang menganggap bahwa berfikir adalah pelembagaan “madzhab qauli”, artinya berfikir adalah taqlid buta terhadap produk-produk pemikiran yang “moncer” pada puluhan abad yang lalu, meskipun mereka sebenarnya memahami dan bahkan sudah “mempersiapkan” bekal bahwa “madzhab manhaji”-lah yang lebih bisa mendialektikakan teks sesuai konteks menuju kontekstualisasi.

Begitu pula dengan dzikir yang selama ini dipahami sebatas wiridan dan istighatsah, padahal seharusnya harus lebih luas dari itu bahwa dzikir merupakan upaya “empowering” tauhid dengan jalan mengintegrasikan ayat-ayat Qur’aniyyah, kauniyyah dan insaniyah agar terbebas dari ancaman teologis, kosmos dan kosmis, dan ini merupakan salah satu nilai dasar Islam sunni.
Sekali lagi saya ta’kidkan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bukanlah madzhab, akan tetapi hanyalah sebuah manhaj fikr atau bisa dibilang “paham” yang pastinya sangat lentur, fleksibel , inklusif, dinamis, tidak elitis dan tidak mengenal status quo dalam semua aspek kehidupan baik aqidah, akhlak, mu’amalah maupun yang lain. Serta sangat proporsional, yang tercermin dalam sikapnya yang teap mendahulukan nash akan tetapi memberi porsi yang sangat besar terhadap akal serta tidak terjebak pada ekstrimitas atau tatharruf. Hal ini telah dimapankan dalam prinsip tawassuth, I’tidal, tasamuh dan tawazun yang disinyalir telah menghantarkan paham ini dapat diterima oleh mayoritas umat Islam.

Dalam konteks dakwah, sangat penting menjadi focus perhatian bahwa salah satu karakter ahlusunnah wal jama’ah adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi. Dan hal ini hanya bisa dilakukan manakala terdapat pemahaman serta penghargaan terhadap budaya –yang baik dan benar- yang selama ini sudah mengakar, karena dakwah merupakan sebuah kegiatan budaya yang terus berubah dan dinamis sejalan dengan perubahan masyarakat dan sejarahnya. Karena itu sudah saatnya orientasi dakwah adalah proses budaya, dan apabila orientasi dakwah adalah proses budaya maka hokum hanyalah merupakan konsekuensi logis. Bukan sebaliknya, dakwah Islamiyyah hanya dipamerkan dengan pemberlakuan hokum positif tanpa diimbangi dengan penguatan kesadaran budaya, apalagi yang dipamerkan adalah produk hokum yang terkesan keras, elitis, kaku, eksklusif, jumud dan cenderung tanpa kompromi yang justru tidak membawa umat kepada pemahaman dan pensadaran akan mahasinul Islam, akan tetapi malah horror dan menakutkan. Apabila hal ini sudah terjadi, maka sudah barang tentu dakwah Islamiyyah menjadi gagal menyentuh wilayah spiritual dan kemanusiaan dengan segala dinamikanya. Dan lebih mesakke lagi daya pikat Islam pun menjadi memudar ditengah kehancuran peradaban dunia dan keputus asaan dunia modern.

Sehingga menjadi semakin gamblang, bahwa mempertahankan dan mengembangkan atau bahkan menumbuhkan kembali karakter ahlussunnah wal jama’ah lebih berkonotasi pada bagaimana kader-kader sunni mampu menghadapi dan beradaptasi dengan realitas lingkungan social dan lingkungan cultural secara lebih luas, kemudian mampu melakukan humanisasi nilai-nilai keIslaman secara dialektis serta bersedia secara legowo, professional dan proporsional me-landing-kan keilmuan dan idealisme mereka ke ranah yang lebih praktis dan aplikatif.
Oleh karena itu amat penting dipahami dan dibedakan antara Islam sebagai petunjuk Allah dan system nilai yang universal dan abadi dengan tafsir dari ajaran dan nilai itu yang bersifat temporal, cultural dan local. Oleh karena iu, seharusnya yang niscaya dipahami bersama adalah bahwa Islam yang wahyu itu memang bukanlah budaya, akan tetapi Islam yang kita pelajari, kita bicarakan dan kita dakwahkan adalah Islam yang berbudaya.

Pertanyaanya sekarang adalah, sanggupkah kader-kader dakwah yang sunni ini mengembangkan dakwah sebagai strategi budaya dan proyek kemanusiaan ?? Wallahu a’lam…

( Abdul Wahab Saleem )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dakwah Budaya Sebuah Proyeksi Pembangunan Karakter Ahlussunnah Wal Jama’ah

Terdapat beberapa hal mendasar yang patut dipertanyakan sebelum kita berwacana tentang bagaimana menumbuhkan kembali karakter ahlussunnah wal jama’ah dikalangan kader-kadernya –termasuk mahasiswa-.

Pertama adalah apakah selama ini kader-kader sunni –termasuk mahasiswa- sudah berkarakter? Minimal karakter kader atau karakter mahasiswa?
Kedua adalah sejauh mana kader-kader sunni –termasuk mahasiswa- itu memiliki suatu refleksi intelektual dalam memahami serta menginternalisasi doktrin aswaja itu sendiri, sehingga tidak terjadi distorsi konsep maupun kerancuan dialektis.
Ketiga adalah sejauh mana para kader sunni –termasuk mahasiswa- sanggup melestarikan nilai-nilai cultural dan tradisi-tradisi amaliyah yang merupakan ruh dari aswaja itu sendiri.


Mahasiswa berkarakter
Dulu, setiap event orientasi studi dan pengenalan kampus selalu terdapat semacam guyon yang menyebutkan bahwa Tuhan itu maha segala-galanya, akan tetapi sangking mahaNya, Tuhan menghadiahkan salah satu mahaNya untuk makhlukNya yang dititipi amanah sebagai kholifah tetapi khusus yang mendapat title intelektual yaitu mahasiswa.

Akan tetapi harus diingat bahwa suatu keistimwaan sudah barang tentu diberikan kepada makhluk yang juga istimewa, sangat beralasan ketika Tuhan menghadiahkan salah satu mahaNya kepada kaum intelektual yang disebut mahasiswa, karena tanggung jawab intelektual bukanlah hal yang remeh, intelektual sangat erat kaitannya dengan devootee of ideas and values (penggemar ide-ide dan nilai-nilai) dan juga meleburkan diri kedalam budaya ilmiyah.

Sehingga mahasiswa yang berkarakter mahasiswa adalah mereka yang gandrung melakukan senggama intelektual, selalu siap menjadi pelopor dan pembangun peradaban, yang Islamnya bukan hanya teriak “Allahu Akbar“ sebagai muqaddimah serangan yang dengan symbol dan atribut yang dipakai justru mempertontonkan nilai agama yang menakutkan, mahasiswa yang mampu bergerak melakukan perubahan dari yang jumud menjadi cerah, dari eksklusif menjadi inklusif, dan dari keterkekangan menjadi pembebasan dan demokrasi, bukan hanya bashthotan fil ilmi wal jism akan tetapi juga memiliki Qalbun salim. Sehingga kesimpulannya bahwa karakter mahasiswa sebagaimana tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang menunjang karakter berikutnya yaitu karakter ahlussunnah waljama’ah.

Dakwah Budaya Merupakan Proyeksi Pengembangan Karakter Ahlussunnah Wal Jama’ah
Ahlussunnah wal jama’ah yang selama ini kita pahami sebagai manhaj fikr mungkin secara epistimologis telah selesai tergarap, akan tetapi dalam konteks aksiologisnya masih terkesan setengah-setengah (untuk tidak menyebut sama sekali nggak berlaku), hal ini diindikasikan dengan banyaknya kader –yang mengaku- sunni belum legowo membuka eksklusifitas yang selama ini mengungkung alam fakir dan dzikir mereka, mereka –termasuk mahasiswa- masih banyak yang menganggap bahwa berfikir adalah pelembagaan “madzhab qauli”, artinya berfikir adalah taqlid buta terhadap produk-produk pemikiran yang “moncer” pada puluhan abad yang lalu, meskipun mereka sebenarnya memahami dan bahkan sudah “mempersiapkan” bekal bahwa “madzhab manhaji”-lah yang lebih bisa mendialektikakan teks sesuai konteks menuju kontekstualisasi.

Begitu pula dengan dzikir yang selama ini dipahami sebatas wiridan dan istighatsah, padahal seharusnya harus lebih luas dari itu bahwa dzikir merupakan upaya “empowering” tauhid dengan jalan mengintegrasikan ayat-ayat Qur’aniyyah, kauniyyah dan insaniyah agar terbebas dari ancaman teologis, kosmos dan kosmis, dan ini merupakan salah satu nilai dasar Islam sunni.
Sekali lagi saya ta’kidkan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bukanlah madzhab, akan tetapi hanyalah sebuah manhaj fikr atau bisa dibilang “paham” yang pastinya sangat lentur, fleksibel , inklusif, dinamis, tidak elitis dan tidak mengenal status quo dalam semua aspek kehidupan baik aqidah, akhlak, mu’amalah maupun yang lain. Serta sangat proporsional, yang tercermin dalam sikapnya yang teap mendahulukan nash akan tetapi memberi porsi yang sangat besar terhadap akal serta tidak terjebak pada ekstrimitas atau tatharruf. Hal ini telah dimapankan dalam prinsip tawassuth, I’tidal, tasamuh dan tawazun yang disinyalir telah menghantarkan paham ini dapat diterima oleh mayoritas umat Islam.

Dalam konteks dakwah, sangat penting menjadi focus perhatian bahwa salah satu karakter ahlusunnah wal jama’ah adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi. Dan hal ini hanya bisa dilakukan manakala terdapat pemahaman serta penghargaan terhadap budaya –yang baik dan benar- yang selama ini sudah mengakar, karena dakwah merupakan sebuah kegiatan budaya yang terus berubah dan dinamis sejalan dengan perubahan masyarakat dan sejarahnya. Karena itu sudah saatnya orientasi dakwah adalah proses budaya, dan apabila orientasi dakwah adalah proses budaya maka hokum hanyalah merupakan konsekuensi logis. Bukan sebaliknya, dakwah Islamiyyah hanya dipamerkan dengan pemberlakuan hokum positif tanpa diimbangi dengan penguatan kesadaran budaya, apalagi yang dipamerkan adalah produk hokum yang terkesan keras, elitis, kaku, eksklusif, jumud dan cenderung tanpa kompromi yang justru tidak membawa umat kepada pemahaman dan pensadaran akan mahasinul Islam, akan tetapi malah horror dan menakutkan. Apabila hal ini sudah terjadi, maka sudah barang tentu dakwah Islamiyyah menjadi gagal menyentuh wilayah spiritual dan kemanusiaan dengan segala dinamikanya. Dan lebih mesakke lagi daya pikat Islam pun menjadi memudar ditengah kehancuran peradaban dunia dan keputus asaan dunia modern.

Sehingga menjadi semakin gamblang, bahwa mempertahankan dan mengembangkan atau bahkan menumbuhkan kembali karakter ahlussunnah wal jama’ah lebih berkonotasi pada bagaimana kader-kader sunni mampu menghadapi dan beradaptasi dengan realitas lingkungan social dan lingkungan cultural secara lebih luas, kemudian mampu melakukan humanisasi nilai-nilai keIslaman secara dialektis serta bersedia secara legowo, professional dan proporsional me-landing-kan keilmuan dan idealisme mereka ke ranah yang lebih praktis dan aplikatif.
Oleh karena itu amat penting dipahami dan dibedakan antara Islam sebagai petunjuk Allah dan system nilai yang universal dan abadi dengan tafsir dari ajaran dan nilai itu yang bersifat temporal, cultural dan local. Oleh karena iu, seharusnya yang niscaya dipahami bersama adalah bahwa Islam yang wahyu itu memang bukanlah budaya, akan tetapi Islam yang kita pelajari, kita bicarakan dan kita dakwahkan adalah Islam yang berbudaya.

Pertanyaanya sekarang adalah, sanggupkah kader-kader dakwah yang sunni ini mengembangkan dakwah sebagai strategi budaya dan proyek kemanusiaan ?? Wallahu a’lam…

( Abdul Wahab Saleem )

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011 Eibece | High CTR Blogspot Themes designed by Ali Munandar | Powered by Blogger.Com.